Nama resmi masjid ini adalah
masjid Saka Tunggal Baitussalam, tapi lebih populer dengan nama
masjid saka tunggal karena memang Masjid ini hanya
mempunyai saka tunggal (tiang penyangga tunggal). Sakatunggal yang
berada di tengah bangunan utama masjid, saka dengan empat sayap
ditengahnya yang akan nampak seperti sebuah totem, bagian bawah
dari saka itu dilindungi dengan kaca guna melindungi bagian yang
terdapat tulisan tahun pendirian masjid tersebut.
Masjid saka tunggal berukuran
12 x 18 meter ini menjadi satu satunya masjid di pulau Jawa yang
dibangun jauh sebelum era Wali Sembilan (Wali Songo) yang hidup
sekitar abad 15-16M.
Sedangkan masjid ini didirikan tahun 1288 M, 2 abad sebelum Wali
Songo. Sekaligus menjadikan Masjid Saka Tunggal Baitussalam
sebagai Masjid Tertua di Indonesia.
Lokasi
Ditengah suasana pedesaan Jawa yang begitu kental Suasana pedesaan sangat
kental. Di kawasan masjid yang dipenuhi dengan kera-kera yang
berkeliaran bebas. Bangunan masjid juga sangat unik, beratapkan ijuk
serta sebagian dindingnya dari anyaman bambu.
Sejarah Masjid Saka Tunggal
Dinamakan Masjid Saka Tunggal, karena memang hanya memiliki satu
pilar utama penyangga. Disekitar masjidterdapat makam seorang penyebar
agam Islam yang bernama Kyai Mustolih. Berdasarkan ceritera nara sumber yaitu
KGPH Dipo Kusumo dari Keraton Surakarta Hadiningrat dan Drs. Suwedi Montana ,
seorang peneliti Arkeologi Islam dari Puslit Arkenas Jakarta pada tanggal 29
Januari 2002 dijelaskan sebagai berikut :
Sunan Panggung adalah salah
seorang dari kelompok Wali sanga yang merupakan murid Syech Siti Jenar. Sunan
Panggung meninggal pada masa pemerintahan Sultan Trenggono di Demak Bintoro
antara tahun 1546-1548 M. Menurut Serat Cabolek, Sunan Panggung dihukum dengan
cara dibakar atas kesalahannya menentang suatu syariat. Namun demikian dalam
hukumannya tersebut ia tidak mati, bahkan saat pada saat itu mampu menulis
suluk yang kemudian dikenal dengan sebutan Suluk Malangsumirang.
Sunan Panggung menurunkan anak
bernama Pengeran Halas. Pangeran Halas menurunkan Tumenggung Perampilan.
Tumenggung Perampilan menurunkan Kyai Cikakak. Kyai Cikakak menurunkan
Resayuda. Kyai Resayuda menurunkan Ngabehi Handaraka, dan Ngabehi Handaraka
menurunkan Mas Ayu Tejawati, Istri Amangkurat IV, yang menurunkan
Hamengkubuwana, Raja Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kyai Cikakak yang merupakan
keturunan ketiga Sunan Panggung tidak diketahui nama aslinya. Nama Kyai Cikakak
diperkirakan merupakan sebutan, karena ia bertempat tinggal di Desa Cikakak. Di
Desa inilah Kyai Cikakak mendirikan sebuah masjid dengan keunikan
tersendiri, yaitu dengan tiang
utama tunggal ( saka tunggal ) yang masih lestari
hingga saat ini.
Masjid saka Tunggal di
bangun di tempat suci Agama Kuno ( agama yang berkembang sebelum masuknya agama
Hindu Budha ) yang dapat dibuktikan di sekitar masjid terdapat sebuah
batu menhir yang merupakan tempat untuk kegiatan ritual : agama kuno, dibangun
pada tahun 1522 M. Di sekitar tempat ini terdapat hutan pinus dan hutan besar
lainnya yang di huni oleh ratusan ekor kera yang jinak dan bersahabat, seperti
di Sangeh Bali.
Saat
ini Masjid Saka Tunggal belum kehilangan sama sekali wajah
aslinya. Bedanya, gebyok kayu dan gedek bambu yang semula menjadi
dinding masjid ini telah diganti dengan tembok.
Salah satu tampilan
asli masjid ini yang belum hilang
adalah saka tunggal di tengah-tengah
bangunan masjid. Sakatunggal tersebut dibuat dari galih kayu
jati berukir motif bunga warna-warni.Di bagian pangkal berdiameter sekitar 35
sentimeter. Saka ini berdiri hingga di atas wuwungan yang berbentuk
limas, seperti wuwungan pada Masjid Agung Demak. Salah satu keunikan
lain Saka Tunggal adalah keberadaan empat helai sayap dari kayu
di tengah saka. Menurut Sopani sang Juru pelihara Masjid Saka Tunggal tersebut,
empat sayap yang menempel di saka tersebut melambangkan papat kiblat
lima pancer, atau empat mata angin dan satu pusat. Papat kiblat lima pancer
berarti manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang empat. Mata
angin itu berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air
bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan
terlalu bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila
tak ingin jatuh. Hidup itu harus seimbang, kata Sopani.
(source:banyumaskab.go.id)
Tradisi
Unik Masjid Saka Tunggal, Banyumas
Zikir seperti melantunkan kidung
jawa Keunikan masjid saka tunggal Banyumas, benar benar
terasa di hari Jum’at. Selama menunggu waktu sholat jum’at dan setelah sholat
jum’at, Jamaah masjid Saka Tunggal berzikir dan bershalawat
dengan nada seperti melantunkan kidung jawa. Dengan bahasa campuran Arab dan
Jawa, tradisi ini disebut tradisi ura ura.
Pakaian Imam dan muazin
Imam masjid tidak menggunakan penutup kepala yang lazimnya digunakan
di Indonesia yang biasanya menggunakan peci, kopiyah, tapi menggunakan
udeng/pengikat kepala. khutbah jumat disampaikan seperti melantunkan sebuah
kidung,
Empat muazin sekaligus
Empat orang muazim berpakaian sama dengan imam, menggunakan baju lengan panjang
warna putih, menggunakan udeng bermotif batik, dan ke empat muazin tersebut
mengumandangkan adzan secara bersamaan.
Semuanya dilakukan berjama’ah
Uniknya lagi, seluruh rangkaian sholat jumat dilakukan secara berjamaah, mulai
dari shalat tahiyatul masjid, kobliah juma’at, shalat Jumat, ba’diah
jum’at, shalat zuhur, hingga ba’diah zuhur. Semuanya dilakukan secara
berjamaah.
Tanpa Pengeras Suara
Masjid Saka Tunggal Baitussalam hingga saat ini masih
mempertahankan tradisi untuk tidak menggunakan pengeras suara. Meski demikian
suara azan yang dilantunkan oleh empat muazin sekaligus, tetap terdengar begitu
lantang dan merdu dari masjid ini.
Ritual Ganti
Jaro, Masjid Saka Tunggal
Adalah ritual mengganti pagar bambu
keliling masjid saka tunggal. Ritual ini diikuti oleh seluruh
warga desa Cikakak. Dalam ritual yang mereka sebut ganti Jaro
Rajapine. Saat membuat pagar ada beberapa pantangan yang harus ditaati.
Mereka dilarang berbicara dengan suara keras serta tidak boleh menggunakan alas
kaki. Sehingga yang terdengar hanya pagar bambu yang dipukul. Karena melibatkan
ratusan warga, hanya dalam waktu 2 jam pagar sepanjang 300 meter ini selesai.
Selain bermakna kebersamaan dan
gotong royong, tradisi ganti Jaro Rajab ini bagi warga di sini dipercaya bisa
menghilangkan sifat jahat dari diri manusia. Pagar bambu ini selain mengelilingi Masjid Saka Tunggal juga
makam Nyai Toleh. Seorang penyebar agama di Banyumas. Sejumlah utusan dari
kraton Surakarta dan Ngayogjogkarta Hadiningrat ikut ambil bagian dalam acara
ini dengan memanjatkan doa di makam, sebagai rasa syukur.
Ritual ganti Jaro Rajab ini
kemudian diakhiri dengan prosesi arak arakan 5 gulungan yang berisi nasi
tumpeng ini kemudian diperebutkan warga karena dipercaya bisa memberikan
berkah.
Arsitektur Masjid Saka Tunggal,
Banyumas
Salah satu keunikan Saka Tunggal adalah empat helai sayap dari
kayu di tengah saka. Empat sayap yang menempel di saka tersebut
melambangkan ”papat kiblat lima pancer”, atau empat mata angin dan satu pusat.
Papat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin
yang melambangkan api, angin, air, dan bumi. Saka tunggal itu
perlambang bahwa orang hidup ini seperti alif, harus lurus. Jangan bengkok,
jangan nakal, jangan berbohong. Kalau bengkok, maka bukan lagi manusia.
Empat mata angin itu berarti
bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak ingin
tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain
api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh.
”Hidup itu harus seimbang,”
Papat kiblat lima pancer ini sama
dengan empat nafsu yang ada dalam manusia. Empat nafsu yang dalam terminologi
Islam-Jawa sering dirinci dengan istilah aluamah, mutmainah, sopiah, dan
amarah. Empat nafsu yang selalu bertarung dan memengaruhi watak manusia.
Keaslian yang masih terpelihara
adalah ornamen di ruang utama, khususnya di mimbar khotbah dan imaman. Ada dua
ukiran di kayu yang bergambar nyala sinar matahari yang mirip lempeng mandala.
Gambar seperti ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan kuno era Singasari
dan Majapahit.
Kekhasan yang lain adalah atap
dari ijuk kelapa berwarna hitam. Atap seperti ini mengingatkan atap bangunan
pura zaman Majapahit atau tempat ibadah umat Hindu di Bali. Tempat wudu pun
juga masih bernuansa zaman awal didirikan meskipun dindingnya sudah diganti
dengan tembok.
Renovasi dan Benda Benda
Peninggalan
Sejak tahun 1965 masjid ini sudah dua kali dipugar. Selain dinding
tembok, juga diberi dinding anyaman bambu serta lapisan atap seng, Meski
sebagian dinding telah direhab dengan tembok, tetapi
arsitektur masjid tetap tidak diubah. Sehingga tidak ada perbedaan
bentuk yang berarti dari awal berdiri hingga sekarang. Sedangkan tiang dari
kayu jati yang menopang bangunan utama masjid dengan ukuran masih
terlihat begitu kokoh. Selama ratusan tahun berdiri, warga dan jamaah di
Cikakak sama sekali tidak mengganti bangunan utama yang ada di tempat itu,
kecuali hanya membangun tembok sekeliling masjid sebagai penopang.
Barang lainnya yang sampai sekarang masih tetap rapi dan dipelihara di
antaranya adalah bedug, kentongan, mimbar masjid, tongkat khatib dan
tempat wudlu.
Status Sebagaimana tertulis dalam
papan peringatan di sekitar masjid, tertulis
bahwa, Masjid Saka TunggalBaitussalam, Desa Cikakak, Kabupaten
Banyumas merupakan Benda Cagar Budaya/Situs dengan nomor 11-02/Bas/51/TB/04 dan
dilindungi undang undang RI No. 5 tahun 1992 dan PP nomor 10 tahun 1993.
Setiap tanggal
27 Rajab di masjid ini diadakan pergantian Jaro dan pembersihan makam
Kyai Mustolih,Salah satu tradisi penting dalam
masjid Saka Tunggal ini adalah ritual Ganti Jaro Rajab. Ritual ini adalah
ritual mengganti pagar bambu yang mengelilingi masjid dan juga mengelilingi
makam Nyai Toleh, salah seorang penyebar agama Islam di wilayah Banyumas.
Pada ritual ini, masyarakat sekitar
membawa bambu untuk menggantikan bambu lama yang ada di Masjid. Mereka berjalan
beriringan menuju masjid, tidak boleh bersuara, tidak memakai alas kaki, hanya
sesekali suara bambu terdengar karena dibawa bersamaan. Hingga sampailah mereka
ke pagar lama, mencabuti pagar tersebut, dan menggantinya dengan yang baru.
Mirip dengan tradisi keraton,
pada upacara ini juga ada gunungan yang berupa nasi tumpeng dan lauk pauknya.
Gunungan ini pada akhir upacara menjadi rebutan masyarakat karena dipercaya
membawa berkah bagi masyarakat sekitar.
Ritual ini
diadakan selain sebagai rasa syukur, juga memupuk kebersamaan dan
kegotongroyongan di antara masyarakat. Diyakini juga, ritual ini juga
menghilangkan berbagai sifat jahat dan jelek dalam diri manusia. Sayang, saat
saya berkunjung, ritual Ganti Jaro Rojab ini sedang tidak dilaksanakan. Saya
hanya mendapatkan cerita dari pengelola masjid ini.. Masjid yang berjarak ± 5 km
dari Ajibarang kearah Selatan,maka bagi yang lewat antara Ajibarang dan
Wangon maka silahkan mampir dan nikmati nuansa keriligiusannya. Masjid ini
disebut Saka Tunggal karena tiang penyangga bangunan masjid
ini, dulunya hanya satu tiang (tunggal).